Rabu, 27 Mei 2020

Kisah Manusia (Adam): sebuah interpretasi

Berikut ini merupakan interpretasi saya terhadap Al Quran dan juga Alkitab (serta hadits) mengenai penciptaan manusia (Adam). Tentu saja interpretasi saya bisa salah, bisa juga benar, Allah-lah yang lebih tahu. Namun saya berharap apa yang saya tuliskan berikut ini tidak melenceng jauh dari kebenaran.

Apa yang terjadi sebenarnya?


Berawal dari kehendak Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah (pengganti) Tuhan di muka bumi. Manusia ini diciptakan-Nya sesuai dengan citra-Nya. Apa maksudnya? Manusia akan berkuasa atas segala ikan di laut, burung di udara, dan segala jenis binatang di bumi (Kitab Kejadian 1:26, 28).

Namun, karena Tuhan itu adil dan bijaksana, maka sebelumnya Tuhan menawarkan lebih dahulu kepada manusia, apakah manusia mau menerima amanat atau tidak? Ternyata manusia (Adam) bersedia menerima amanat tersebut (QS 33:72). Kemungkinan amanat tersebut berupa enam perintah Tuhan yaitu jangan menyembah berhala, jangan menghujat nama Tuhan, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berzina, serta menegakkan keadilan. Enam perintah ini hampir sama dengan the Seven Noahide Laws minus jangan memakan darah.


Setelah manusia (Adam) menerima amanat tersebut, barulah kemudian Tuhan mengajarkan kepada Adam segala sesuatu yang harus diketahuinya.

Kelebihan utama manusia dibandingkan para Malaikat, imho, bukanlah karena manusia (Adam) lebih pintar daripada Malaikat, namun kelebihannya adalah karena manusia memiliki free will, manusia bisa menciptakan sesuatu yang baru, dan manusia bisa melakukan suatu pekerjaan baru yang belum ada SOP (Standar Operasi Prosedur)-nya. Berbeda dengan para malaikat yang tidak bisa melakukan semua hal itu. Malaikat hanya mengetahui hal-hal yang sudah diajarkan Tuhan kepada mereka, namun tidak mengetahui hal-hal yang tidak diajarkan Tuhan kepada mereka. Sementara manusia bisa mempelajari sendiri hal-hal yang tidak diajarkan Tuhan kepada mereka. Ilustrasinya kira-kira seperti ini: misalkan di bumi ini telah terdapat seribu jenis spesies binatang, dan para Malaikat telah diajari Tuhan mengenai nama-nama dari seribu binatang tersebut, maka hanya sebatas itulah pengetahuan Malaikat. Jika misalnya terdapat sejumlah spesies binatang baru yang berbeda dari keseribu binatang tsb dan Tuhan belum mengajarkan kepada Malaikat nama-nama dari spesies baru tersebut, maka Malaikat tidak akan pernah tahu nama dari sepesies baru tersebut karena Malaikat tidak berkuasa untuk menciptakan sendiri nama dari spesies baru tersebut. Berbeda dengan manusia yang bisa memberikan nama baru kepada sesuatu yang baru dilihatnya. Oleh karena itu, ketika Tuhan bertanya kepada Malaikat, "Sebutkanlah kepada-Ku nama dari benda-benda ini" dan Malaikat tidak bisa menjawab, sedangkan Adam bisa menjawab, hal tersebut menurut pendapat saya bukanlah karena para Malaikat tidak diberitahu nama dari benda-benda tsb sedangkan Adam sudah diberi tahu nama dari benda-benda tersebut. Kalau demikian, maka itu kurang fair. Menurut saya, ketika itu, para Malaikat dan Adam sama-sama tidak diberitahu sebelumnya mengenai nama dari benda-benda tersebut. Atau dengan kata lain, ketika Tuhan bertanya kepada Malaikat (dan juga Adam) akan nama dari benda-benda tsb, benda tsb adalah benda baru yang sama sekali belum pernah ada sebelumnya. Nah, dalam kasus ini, para Malaikat tidak bisa menyebutkan namanya, sedangkan Adam bisa. Kemungkinan, benda yang ditanyakan oleh Tuhan tsb adalah sejumlah spesies baru dari jenis binatang (rujukan Kejadian 2:19-20). Itulah kelebihan Adam dibandingkan Malaikat, sehingga Tuhan menyuruh para Malaikat untuk bersujud kepada Adam.


Kemudian ternyata Tuhan tidak hanya berlaku adil dan bijaksana kepada Adam saja (dengan memberikan pilihan kepada manusia apakah ia mau menerima amanat dari Tuhan atau tidak sebagaimana tertulis dalam QS 33:72), namun Tuhan juga berlaku adil kepada keturunan Adam dengan memberikan pilihan apakah keturunan Adam mau menerima Tuhan sebagai Rabb kita atau tidak (QS 7:172). Dan sebagaimana tercatat dalam ayat 172 tsb, ternyata setiap manusia yang lahir ke muka bumi ini bersedia mengakui Tuhan sebagai Rabb-nya. (Jika seandainya ada calon manusia yang tidak bersedia mengakui Tuhan sebagai Rabb-nya, maka kemungkinan calon manusia tsb tidak akan pernah lahir ke dunia ini dengan selamat, wa Allahu a'lam).


Kesimpulan: kita-kita ini sebenarnya sudah terikat perjanjian dengan Tuhan bahwa kita mengakui Tuhan sebagai Rabb kita. Masalahnya, kita tidak ingat sama sekali dengan perjanjian tsb. Sekarang yang penting adalah bagaimana kita senantiasa memegang teguh perjanjian kita dengan Tuhan dan menegakkan tujuh hukum utama yang telah ditetapkan oleh Tuhan bagi seluruh keturunan Adam.


Keterangan:
Tulisan ini merupakan versi awal dari tulisan saya yang serupa yang diposting pada blog muktazilah. Perbedaannya adalah pada versi edited (blog muktazilah), Adam menerima amanat dari Tuhan (QS 33:72) sesudah Adam memberi nama pada hewan-hewan (Kejadian 2:19, 20, QS 2:33).
Saya pribadi tidak yakin, mana yang lebih dulu terjadi: QS 33:72 ataukah QS 2:33-34?