Senin, 28 November 2016

Melihat kepada Hakikat

Dalam mencoba memahami makna dari suatu ayat, terkadang kita perlu memahami hakikat dari ayat tersebut, dan bukan hanya memahami makna literal (harfiah) dari ayat tersebut.

Ada dua contoh yang ingin saya ilustrasikan:

Contoh pertama adalah QS 5:38 mengenai potong tangan untuk pencuri.
Di sini ada tiga kata yang kurang jelas maknanya dan dapat diperdebatkan, yaitu definisi dari mencuri (termasuk hisab barang), makna dari "potong" apakah ia secara literal ataukah kiasan, dan juga definisi dari "tangan". Saya pribadi percaya bahwa kata "potong" di sini berarti harfiah (literal), yaitu benar-benar memotong tangan.

Namun, definisi dari "tangan" inilah yang debatable. Apakah yang dimaksud tangan di sini adalah telapak tangan, ataukah sampai pergelangan tangan, sampai lengan, atau sampai siku?

Nah, saya berpendapat bahwa kebanyakan fungsi tangan seperti dalam memegang sesuatu, misalnya untuk makan (memegang makanan/sendok/sumpit), memegang alat tulis, mengetik hape, dlsb. hampir seluruhnya dilakukan oleh jari-jari tangan kita. Oleh karena itu, saya melihat bahwa hakikat dari tangan lebih banyak terdapat pada jari-jari tangan. Dengan demikian, jika ingin menghukum pencuri, cukup jari-jari tangan si pencuri saja yang dipotong, dan ia sudah tidak dapat memanfaatkan sebagian besar fungsi yang dapat dilakukan oleh tangan.

Contoh kedua adalah peranan dari seorang wali (atau auliya dalam bentuk jamaknya), sebagaimana yang sering diperdebatkan belakangan ini. Apakah wali itu berarti teman setia, ataukah ia berarti sekutu, penolong, ataukah ia berarti pemimpin? Saya pikir, semuanya mungkin benar, namun yang lebih penting dari semua itu adalah pertanyaan: apakah fungsi dari wali/auliya tsb? Menurut saya, hakikat dari seorang wali adalah jika ia  memberikan petunjuk kepada kita, seperti disinggung dalam QS18:17 waliyam mursyida.

Sehingga, menurut saya, tidak penting jika kita menjadikan non-muslim sebagai teman atau sebagai gubernur, sepanjang kita tidak menjadikannya sebagai waliyam mursyida. wa Allahu a'lam.

Jumat, 11 November 2016

Beriman kepada Kitab Sebelum Al Quran

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya … (QS 4:136)
Saya tertarik kepada ayat ini karena ayat ini memerintahkan kita orang-orang beriman untuk beriman kepada sebuah kitab sebelum Al Quran. Kata sebuah di sini harus saya garis bawahi karena kata “kitab” tersebut dinyatakan dalam bentuk tunggal (singular), yang artinya ia hanya ada satu kitab.
Saya berpendapat bahwa beriman kepada Kitab sebelum Al Quran itu tidak cukup hanya sekedar percaya bahwa dulu pernah ada Kitab sebelum Al Quran yang diturunkan kepada Nabi sebelum Muhammad. Analoginya adalah seperti beriman kepada Allah tetapi tidak beramal saleh. Kalau kata Yakobus, “kamu pecaya bahwa hanya ada satu allah saja? Itu bagus, namun iblis pun juga berpendapat demikian”.
Tidak ada manfaatnya jika kita percaya bahwa Allah itu ada dan Allah itu esa jika kita tidak pernah mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Demikian juga halnya dengan beriman kepada Kitab sebelum Quran, tidak ada gunanya bagi kita untuk percaya bahwa Kitab tsb memang benar pernah ada, namun sekarang sudah hilang, tanpa kita pernah berusaha untuk melaksanakan apa yang terkandung di dalam Kitab sebelum Quran tersebut.

Kemudian saya mencoba untuk menafsirkan kitab sebelum diturunkannya Al Quran, kitab apakah yang dimaksud tsb?
Saya mempunyai tiga alternatif jawaban.
Yang pertama, yang dimaksud kitab di sini adalah the Bible atau Alkitab secara keseluruhan. Hal ini didukung antara lain oleh terjemahan Quran berbahasa Inggris oleh Muhammad Sarwar yang merupakan seorang syiah. Namun kemudian saya menyadari bahwa pendapat ini lemah karena the Bible atau Alkitab yang kita kenal sekarang ini banyak terdapat kontradiksi di dalamnya. Bagaimana mungkin kita beriman kepada sebagian ayat Alkitab namun ingkar terhadap ayat Alkitab yang lain?

Alternatif kedua, yang dimaksud kitab disini adalah Kitab Musa, yaitu sebuah Kitab yang benar-benar ditulis langsung oleh Nabi Musa sendiri. Di dalam Kitab Keluaran Pasal 24 ada disebutkan bahwa Nabi Musa menuliskan sebuah kitab yang disebut Kitab Perjanjian. Saya menduga bahwa Kitab Perjanjian itulah yang disebut sebagai Kitab Musa di dalam Al Quran. Perlu diperhatikan bahwa Kitab Musa ini tidak sama dengan Kitab Taurat, karena tak sekalipun Al Quran pernah menyatakan bahwa Taurat itu diturunkan kepada Nabi Musa. Ada beberapa ayat yang mendukung alternative kedua ini, antara lain QS 46:12 dan QS 32:23.
Namun, menurut saya ada dua alasan yang melemahkan alternatif ini.
Pertama, di dalam Al Quran dijelaskan dalam beberapa ayatnya bahwa Kitab Musa itu diturunkan untuk bani Israil, sedangkan kita bukanlah orang Israel.
Kedua, terdapat aturan-aturan dalam Kitab Musa yang berbeda dengan aturan-aturan di dalam Islam. Misalnya di dalam Kitab Musa dijelaskan mengenai Hari-Hari Raya umat Israel yang tentunya berbeda dengan hari-hari raya umat Islam.

Alternatif ketiga yang merupakan pendapat yang saya pegang saat ini adalah bahwa yang dimaksud dengan Kitab sebelum Al Quran di dalam QS 4:136 ini adalah Kitab Injil. Ada beberapa alasan yang membuat saya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan beriman kepada Kitab sebelum Quran adalah beriman kepada Injil:

1.       Kitab yang diturunkan tepat sebelum Al Quran adalah Kitab Injil. Sedangkan Kitab Musa atau Kitab Taurat misalnya, telah diturunkan jauh sebelum ada Kitab Injil. Demikian juga Kitab Mazmur yang sudah ada sejak ratusan tahun sebelum Kitab Injil.

2.       Sama halnya dengan Al Quran, nampaknya Kitab Injil diturunkan untuk semua umat manusia, terutama kepada bangsa gentiles atau non-Israel. Hal ini dibuktikan dengan penamaan Kitab tsb yang menggunakan bahasa non-Ibrani, yaitu bahasa Yunani.

3.       Di dalam Injil tidak ada perintah atau aturan yang berlawanan dengan Al Quran. Artinya, menurut saya kita bisa mempraktekkan ajaran Al Quran dan ajaran Injil sekaligus. Berbeda halnya dengan Kitab Taurat yang ternyata ada peraturan di dalamnya yang berlawanan dengan Al Quran, misalnya di dalam Taurat ada ayat yang menyatakan bahwa unta itu haram, sedangkan di dalam Al Quran jelas-jelas dinyatakan bahwa unta itu halal.

4.       Di dalam tafsir Qurthubi ketika membahas mengenai surah Al Imran ayat 3 (QS 3:3) diketengahkan sebuah hadits yang saya tidak ketahui statusnya yang menyatakan bahwa di akhir zaman nanti aka nada sekelompok umat yang hafal Kitab Injil. Saya menduga bahwa sekelompok umat tsb adalah umat Islam yang menghafal Injil.

5.       Isi dari Ktab Injil yang asli relatif lebih mudah ditelusuri dibandingkan kalau kita ingin merekontruksi Kitab Musa atau Kitab Taurat misalnya. Saya percaya bahwa Injil Yang asli tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang para sarjana Alkitab (biblical scholars) sebut sebagai the Lost Gospel Q atau Injil Q yang Hilang, yang kurang lebih merupakan material yang terdapat di Injil Matius dan Lukas (double tradition) namun tidak ada di Injil Markus.


Sebagaimana telah saya sampaikan di atas,  tidak ada gunanya jika kita hanya sekedar percaya bahwa Kitab Injil itu memang benar diturunkan kepada Nabi Isa, namun pada saat yang sama kita mencemooh ajaran-ajaran Nabi Isa yang tertuang di dalam Injil.

Edited 22 Juni 2017
Alternatif keempat adalah bahwa yang dinaksud dengan Kitab sebelum Al Quran adalah Kitab Musa (seperti alternatif kedua) dimana Kitab Musa di sini adalah apa yang serupa dengan Shapira Manuscript. Shapira Manuscript adalah naskah kuno yang berisi versi lain dari Kitab Ulangan yang diklaim oleh Moshe Shapira berusia ribuan tahun. Boleh dibilang bahwa Shapira Manuscript ini versi ringkas (namun lebih original?) dari Kitab Ulangan. Dalam Shapira Manuscript terdapat "Hukum yang Terutama" dan "Sepuluh Perintah" yang menurut saya merupakan intisari dari Alkitab Perjanjian Lama atau the Jewish Bible. Dengan demikian, saat ini saya menduga bahwa Shapira Manuscript atau apa yang serupa dengannya inilah yang harus diimani oleh setiap orang beriman.

Wa Allahu a’lam.

Rabu, 02 November 2016

The Good News of the Kingdom of God

The Law and the Prophets were proclaimed until John; since that time the gospel of the kingdom of God has been preached, and everyone is forcing his way into it (Luke 16:16)

Fakta: Injil Q diawali oleh kisah Yohanes Pembaptis

Selasa, 01 November 2016

Jangan Berpamitan

Di dalam Injil ada tertulis, barangsiapa yang telah "dipanggil", namun ia masih menghadap ke belakang, maka ia tidak layak.
Saya memahami pernyataan tersebut adalah dalam kasus-kasus tertentu saja. Misalnya ada seorang pemuda yang "terpanggil", namun ia ingin berpamitan dulu dengan orang tuanya. Boleh jadi, ketika ia berpamitan atau mohon doa restu dari orang tuanya, orang tuanya khususnya ibnunya tidak merestui atau tidak menyetujui kepergiannya. Dalam kasus tsb, tentu si pemuda akan menghadapi dilema, antara memenuhi panggilan mesias atau menuruti orang tuanya. Jadinya malah buah simalakama. Mungkin itu sebabnya mengapa Yesus melarangnya berpamitan, agar si pemuda tidak perlu menghadapi dilema tsb.

wa Allahu a'lam.