Selasa, 25 Juli 2017

Menakar Kembali Dinar dan Dirham

Umat Islam di masa kini menganggap bahwa dinar adalah mata uang emas yang digunakan di dalam dunia Islam, sedangkan dirham adalah mata uang perak yang digunakan di dalam dunia Islam. Fikih kontemporer pada umumnya menyatakan bahwa berat 1 dinar emas adalah 4,25 gram, sedangkan berat dari 1 dirham perak adalah 2,975 gram atau 7/10 dari berat 1 dinar emas.

Tetapi pertanyaannya adalah, apakah benar aturan tersebut memang ditetapkan oleh Nabi?
Perlu diingat bahwa pada masa Nabi belum ada standar ukuran berat dalam satuan gram. Lagipula, koin emas dan koin perak yang beredar pada masa Nabi bukanlah buatan umat Islam sendiri melainkan produk dari bangsa lain seperti bangsa Romawi. Namun masalahnya adalah standar koin perak (dan emas) yang digunakan oleh bangsa Romawi berubah dari waktu ke waktu. Misalnya, standar 1 denarius (koin perak) yang digunakan oleh bangsa Romawi pada mulanya sekitar 4,55 gram. Namun standar berat ini turun menjadi 3,9 gram beberapa waktu kemudian, dan turun lagi menjadi 3,4 gram setelahnya dst. Sehingga kita tidak bisa memastikan koin perak apakah yang digunakan pada zaman Nabi, thus kita tidak bisa menghitung secara pasti berat dari 1 dirham perak.

Dinar dan Dirham di dalam Al Quran
Kata “dinar” dan “dirham” masing-masing disebutkan satu kali di dalam Al Quran. Dinar disebutkan di dalam QS 3:75, sedangkan dirham disebutkan di dalam QS 12:20. Namun, apakah pengertian dari dinar dan dirham di dalam Al Quran adalah sebagaimana pengertian dinar dan dirham yang kita kenal saat ini, yaitu dinar merupakan koin emas, sedangkan dirham adalah koin perak? Nampaknya TIDAK.

Di dalam QS 3:75 disebutkan, “Di antara Ahli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak (qintar) niscaya dia akan mengembalikannya kepadamu. Tetapi ada juga di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak akan mengembalikannya kepadamu kecuali jika engkau selalu menagihnya ….”
Dalam pemahaman saya, dinar dalam ayat ini adalah lawan kata dari qintar atau harta yang banyak. Oleh karena itu, dinar di sini menurut saya mengacu kepada sesuatu yang nilainya sedikit atau tidak begitu bernilai. Nah, kalau dinar di sini ditafsirkan sebagai 1 dinar emas, maka menurut saya penafsiran tersebut kurang tepat. Karena di dalam tradisi Islam, dikatakan bahwa seorang sahabat Ahli Suffah terancam akan diazab di neraka hanya gara-gara ia menyimpan 1 dinar di dalam sarungnya. Dalam fikih Islam pun dikatakan bahwa seorang pencuri akan dipotong tangannya jika ia mencuri sesuatu yang nilainya ¼ dinar emas atau lebih. Dengan demikian, 1 dinar emas, bahkan seperemapt dinar emas pun sudah dianggap sebagai sesuatu yang bernilai yang cukup tinggi, dan saya rasa ini kurang tepat jika dianggap sebagai lawan kata dari qintar atau harta yang banyak.

Yang menarik adalah bahwa beberapa terjemahan Al Quran dalam bahasa Inggris menerjemahkan kata “dinar” dalam ayat di atas sebagai silver coin. Yusuf Ali, Muhsin Khan, dan Sahih International adalah beberapa contoh terjemahan Al Quran berbahasa Inggris yang menerjemahkan dinar menjadi silver coin atau koin perak. Berikut saya kutip terjemahan QS 3:75 menurut Muhsin Khan, “Among the people of the Scriptureis he who if entrusted with a Cantar (a great amount of wealth etc) will readily pay it back, and among them there is he who if entrusted with a single silver coin will not repay it unless you constantly stand demanding ….”
Saya pribadi setuju dengan ketiga terjemahan yang saya sebutkan di atas bahwa seyogyanya dinar dalam ayat QS 3:75 diterjemahkan sebagai silver coin atau koin perak. Hal ini antara lain karena saya percaya bahwa kata “dinar” berasal dari “denarius” yaitu koin perak yang digunakan oleh bangsa Romawi. Koin denarius pada mulanya beratnya adalah 4,55 gram. Kemudian sekitar tahun 200 SM standar berat dari 1 denarius turun menjadi sekitar 3,9 gram.

Jika dinar di dalam Al Quran berarti koin perak (yang beredar pada zaman Nabi), lalu apakah arti dari dirham menurut Al Quran?

Kata dirham di dalam Al Quran disebutkan di dalam Surah Yusuf ayat 20 sebagai berikut, “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga rendah, yaitu beberapa dirham saja ….”
Beberapa terjemahan berbahasa Inggris menerjemahkan dirham dalam QS 12:20 ini sebagai silver coins, namun menurut saya terjemahan tersebut tidak tepat.
Kalau kita menelusuri catatan sejarah, maka kita akan mengetahui bahwa menurut para sejarah-wan , perak yang digunakan sebagai alat pembayaran dalam bentuk koin baru ada pada sekitar abad 600SM atau sekitar seribu tahun setelah masa Nabi Yusuf. Dengan kata lain, di masa Nabi Yusuf belum ada koin perak yang ter-standar, dan dengan demikian belum ada istilah koin perak dirham dan koin emas dinar. Begitu juga belum ada koin drachma maupun denarius. Sehingga saya percaya bahwa kata dirham dalam QS 12:20 bukanlah berarti koin perak dirham, dan juga bukan koin perak drachma.
Lalu apakah maksud dari kata dirham dalam QS 12:20 tersebut?
Saya percaya bahwa kata dirham dalam QS 12:20 bertalian erat dengan kata dram, yaitu satuan unit berat atau unit of mass. Menurut Wikipedia, dram (unit) mengacu kepada satuan berat (unit of mass) dalam sistem avoirdupois, dan satuan berat maupun satuan volume dalam sistem apothecaries.
Dengan demikian saya percaya bahwa kata dirham yang dimaksud dalam QS 12:20 bukan berarti koin perak dirham melainkan satuan berat dram untuk mengukur perak. Kalau di zaman umat Israel, mungkin kita mengenalnya sebagai syikal (shekel), sedangkan di masa kini mungkin seperti  gram atau ons. Dengan demikian, menurut saya ayat tersebut bahwa Nabi Yusuf dijual dengan harga murah, yaitu setara dengan beberapa gram perak saja lho, tidak sampai 1 kilogram perak.

Kembali ke topik, jika dinar di dalam Al Quran berarti koin perak denarius, sedangkan dirham di dalam Al Quran berarti satuan berat dram, lalu apakah yang dimaksud dengan istilah dinar dan dirham pada zaman Nabi?

Menurut logika sederhana, semestinya dinar itu berasal dari kata denarius yaitu koin perak yang digunakan oleh bangsa Romawi, sedangkan dirham berasal dari kata drachma, yaitu koin perak yang digunakan oleh bangsa Yunani kuno. Namun masalahnya adalah baik denarius maupun drachma adalah sama-sama koin perak, yang beratnya pun hampir sama. Jika 1 drachma beratnya adalah sekitar 4,3 gram, maka 1 denarius beratnya berkisar antara 3,4 ~ 4,55 gram. Nilai 1 drachma maupun 1 denarius di masa lalu pun hampir sama, yaitu setara dengan upah seorang pekerja di dalam satu hari. Nah, jika drachma dan denarius mengacu kepada suatu hal yang pada hakikatnya hampir sama, lalu kenapa dinar dan dirham di dalam Islam mengacu kepada sesuatu yang berbeda?

Dalam buku A Free Nation Deep in Debt: The Financial Roots of Democracy oleh James MacDonald saya menemukan sesuatu yang menarik. Berikut saya kutipkan dari buku tersebut:
“The drachma and the denarius were small silver coins. The Roman denarius was copied from the drachma, and under the Roman Empire, drachma was merely the Greek word for denarius….” (p.478)
Pada masa Kerajaan Romawi, dirham merupakan kata Yunani untuk dinar!

Selanjutnya di dalam buku tersebut juga dijelaskan tentang koin emas atau gold coins.
Gold Coins. These were based on the late Roman/Byzantine solidus, which weighed 4.55 grams of gold at the time of its introduction in the fourth century A.D. Because its weight was not far different from that of the old silver denarius, it was sometimes referred to as the gold denarius. When much of the Eastern Empire was conquered by the Muslims, this coin was retained by the new rulers and was the word denarius transmuted into dinar ….” (Sumber: A Free Nation Deep in Debt: The Financial Roots of Democracy by James MacDonald p.478)

Saya percaya bahwa dinar emas di dalam Islam berasal dari solidus, yaitu koin emas bangsa Romawi yang terkadang disebut juga sebagai gold denarius atau dinar emas. Adapun berat dari 1 solidus atau 1 dinar emas ini pada mulanya sekitar 4,55 gram.

Kesimpulan

Saya percaya bahwa dinar di dalam dunia Islam berasal dari solidus atau gold denarius, di mana berat dari 1 dinar semestinya sama dengan 4,55 gram (atau bahkan lebih). Sedangkan dirham di dalam Islam berasal dari koin perak denarius, di mana berat dari 1 koin perak denarius mungkin sekitar 3,4 atau 3,9 gram. Dengan demikian, menurut saya standar berat koin dinar emas dinar dan koin perak dirham pada masa kini yaitu masing-masing 4,25 gram dan 2,975 gram tidak sesuai dengan yang seharusnya yaitu 4,55 gram dan 3,4 atau 3,9 gram. Wa Allahu a’lam.

Selasa, 04 Juli 2017

Saatnya Membeli Perak

Dikutip dari YouShouldBuyGold.com

Alkitab (the Bible) menyediakan catatan sejarah akan hubungan alami antara emas dan perak, di mana rasio normalnya adalah 1:15.Ketika syikal digunakan sebagai standar berat, nilai dari satu syikal perak biasanya sekitar 1/15 nilai satu syikal emas.
Menurut scholars, rasio emas dan perak ketika Daud menjadi Raja adalah 1:12, sementara pada masa Hizkia adalah 1:10. Sedangkan di Yunani tadinya rasio-nya adalah 1:13, sebelum Alexander Yang Agung menetapkannya menjadi 1:10. Pada masa Republik Romawi, rasionya adalah 1:12.
Di Eropa, hingga tahun 1492, rasio emas dan perak adalah 1:10, kemudian pada tahun 1492 hingga 1834, rata-rata rasio berubah menjadi 1;15. Sementara Inggris menetapkan rasio 1:16, sedangkan Napoleon menetapkan rasio 1:15,5.
Pada tahun 1792, kongres Amerika Serikat di bawah presiden George Washington menetapkan rasio emas terhadap perak pada 1:15.
Dalam bukunya the Wealth of Nations, Adam Smith menyatakan, “ Satu ons emas pada umumnya dapat membeli 14 sampai 15 ons perak”
Rasio emas terhadap perak di seluruh dunia pada tahun 1980 sekitar 1:16, sementara rasio emas dan perak pada saat ini (internasional) adalah sekitar 1:70! [Sedangkan di Indonesia, sekitar 1:50]



Mengingat rasio perak terhadap emas pada saat ini sangat merosot jika dibandingkan beberapa abad yang lalu, yaitu ketika uang kertas belum digunakan secara umum, maka menurut saya, saat ini adalah saat yang tepat untuk membeli perak, sebelum harganya kembali “normal” seperti zaman dahulu.

Minggu, 02 Juli 2017

Beriman kepada Kitab Sebelum Al Quran

"Hai orang-orang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasulnya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya...." QS 4:136
Kira-kira setahun yang lalu, saya sempat dibikin bingung oleh ayat ini. Yang membuat saya bingung adalah karena kita orang beriman diperintahkan untuk beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah sebelum Al Quran. Permasalahannya adalah karena kata "Kitab" dalam frase "kitab sebelum Al Quran" adalah dalam bentuk tunggal (singular), padahal kita mengenal beberapa Kitab sebelum Al Quran  yaitu (kitab) Taurat, Injil, Zabur, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi yang tidak disebutkan nama kitabnya di dalam Al Quran. Nah, jika kata "Kitab" dalam "Kitab sebelum Al Quran" berbentuk tunggal, maka akan timbul pertanyaan, kitab apakah gerangan yang dimaksud dalam ayat di atas. Apa iya kita diperintahkan untuk beriman kepada kitab Injil saja, misalnya, tetapi tidak perlu beriman kepada Taurat dan Zabur; atau sebaliknya. Jika demikian, saya merasa bahwa umat ini akan menjadi seperti orang-orang yang membagi Kitab Allah sebagaimana disitir di dalam ayat QS 15:90-91.

Dugaan terbaik saya pada saat itu adalah bahwa yang dimaksud dengan "Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran" adalah kitab yang diturunkan kepada nabi Musa atau yang selanjutnya akan saya sebut sebagai "Kitab Musa". Dalilnya antara lain adalah QS 11:17 dan QS 46:12.

Namun, saya berkeyakinan bahwa "Kitab Musa" di sini tidaklah sama dengan Taurat. Karena saya menyadari bahwa kalau kita meneliti Al Quran, tidak ada satu pun ayatnya yang menyatakan bahwa Allah menurunkan Taurat kepada nabi Musa. Dalam sebagian ayatnya memang dinyatakan bahwa Allah memberikan (sebuah) Kitab kepada Nabi Musa, sedangkan di ayat lain memang dinyatakan bahwa Allah menurunkan Taurat. Namun, tidak sekalipun ayat Al Quran menyatakan bahwa Allah menurunkan Taurat kepada Nabi Musa. (Ini berbeda dengan Injil misalnya di mana memang dinyatakan di dalam Al Quran bahwa Allah memberikan Injil kepada nabi Isa.)

Hal ini membuat saya percaya bahwa Kitab Musa dan Taurat adalah dua hal yang berbeda.
Saya menduga keras bahwa yang dimaksud dengan Kitab Musa adalah Sepuluh Perintah (the Ten Commandments) dan atau ditambah dengan Kitab Perjanjian (the Covenant Code). Pendeknya, saya percaya bahwa yang dimaksud dengan "Kitab Musa" adalah apa yang tertulis di dalam Kitab Keluaran (Exodus) Pasal 20 sampai dengan Pasal 23.

Namun kemudian saya menyadari bahwa terkadang bentuk tunggal dan bentuk jamak di dalam beberapa ayat Al Quran tidak selalu bersifat mutlak. Saya teringat uraian Bapak Quraish Shihab dalam buku beliau Mukjizat Al Quran di mana menurut beliau kata "anak / thifl" antara lain di dalam ayat QS 24:31 berbentuk tunggal padahal maksudnya adalah jamak. Hal ini disebabkan karena sifat "anak" dimana-mana adalah sama. Jadi, anak dalam bentuk tunggal di sini untuk menunjukkan kesamaan sifat umum dari seorang anak. Analogi lain adalah ayat kedua dalam surat wal Ashri dimana dinyatakan bahwa manusia (bentuk tunggal) berada dalam kerugian, yaitu untuk menunjukkan manusia pada umumnya.
Penjelasan lain juga terdapat di dalam QS 3:119, "dan kamu beriman kepada Kitab semuanya", dimana di dalam ayat ini kata "Kitab" juga dalam bentuk tunggal. Hal ini akan semakin tampak jika kita memeriksa beberapa terjemahan Al Quran berbahasa Inggris untuk ayat QS 3:119 ini dan juga untuk ayat QS 4:136.
Beberapa terjemahan Al Quran berbahasa Inggris menerjemahkan bil Kitabi kullihi dalam ayat QS 3:119 sebagai the Books atau the Scriptures (plural), sedangkan terjemahan lainnya menerjemahkannya sebagai the Book dalam bentuk tunggal. Hal ini bukan merupakan masalah, apakah kata kitab diterjemahkan sebagai bentuk tunggal maupun bentuk jamak, karena kitab-kitab tersebut, walaupun banyak, namun ia tetap dianggap sebagai satu kesatuan.
Hal senada juga bisa kita lihat dalam terjemahan Al Quran Surah 4:136 menurut Mufti Taqi Usmani dan Dr Mustafa Khattab (the Clear Quran) yang menerjemahkan kata "Kitab" dalam bentuk jamaknya (the Books atau the Scriptures). Begitu juga dengan QS 42:15, dimana kata "Kitab" dalam kalimat "Kami beriman kepada Kitab semuanya" juga dalam bentuk tunggal, walaupun maksudnya adalah jamak.

Dengan demikian, walaupun kata "Kitab" dalam ayat QS 4:136 di atas berbentuk tunggal, namun sesunguhnya ia menunjuk kepada satu paket Kitab Allah yang dianggap sebagai satu kesatuan. Hal ini bisa dibuktikan antara lain di dalam QS 5:66 dan 5:68 bahwa beriman kepada Taurat dan Injil itu pada hakikatnya adalah satu paket yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Seseorang tidak sempurna imannya jika misalnya dia beriman kepada Injil saja akan tetapi ingkar kepada Taurat, sedangkan di dalam Injil sendiri (maupun di dalam Al Quran) dinyatakan bahwa Yesus atau Nabi Isa membenarkan Taurat. "Injil" disebut sebanyak 12 kali di dalam 12 ayat Al Quran yang berbeda, dimana di dalam 10* dari 12 ayat tersebut juga disebutkan "Taurat", semakin membuktikan bahwa terdapat kaitan yang erat antara Injil dan Taurat, sehingga saya berkeyakinan bahwa jika seseorang beriman kepada Injil maka dia harus beriman juga kepada Taurat.
Demikian juga seorang Ahli Kitab tidak akan lengkap imannya jika dia hanya percaya kepada Taurat saja sementara dia ingkar kepada Injil.

Kemudian kalau kita kaji kembali ayat QS 4:136 di atas, kita dapat melihat bahwa kata Rasul pun juga dalam bentuk tunggal. Padahal, salah satu rukun iman kita sebagai orang beriman adalah beriman kepada nabi-nabi dan rasul-rasul (jamak). Jangan sampai umat Islam seperti umat Yahudi terdahulu yang beriman kepada sebagian rasul, tetapi menolak sebagian rasul yang lain sebagaimana disinggung di dalam QS 4:150.  Umat Islam tidak bisa beriman kepada Nabi Muhammad saja tetapi ingkar kepada Nabi Isa atau Nabi Musa, misalnya. "Kami tidak membedakan seorangpun di antara Rasul-rasul-Nya" (QS 2:285).

Kesimpulan Sementara
Walaupun kata "kitab" dalam frase "kitab sebelum Al Quran" dalam ayat 4:136 berbentuk tunggal, namun sebenarnya ia merujuk kepada satu paket Kitab yang diturunkan Allah sebelum Al Quran yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada, Taurat dan Injil. Dengan demikian, saya percaya bahwa di dalam ayat 4:136 ini kita diperintahkan untuk beriman kepada Taurat, Injil, dan Quran, atau kitab-kitab yang disebut di dalam QS 9:111.
Namun, perlu saya tambahkan bahwa Taurat di sini tidak identik dengan Pentateuch, sedangkan Injil tidak sama dengan Injil Perjanjian Baru. Saya percaya bahwa yang dimaksud dengan Taurat di dalam Al Quran adalah kitab Taurat yang asli yang kemungkinan serupa dengan Shapira Manuscript, sedangkan Injil yang asli kurang lebih serupa dengan Injil Ibrani atau Q Gospel.

Katakanlah: Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Abraham, Ismail, Ishak, Yakub dan anaknya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan kepada apa yang diberikan kepada Nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan satu pun darinya dan kami termasuk orang yang berserah diri. (QS 2:136, 3:84)

Catatan kaki:
*Sepuluh ayat yang dimaksud adalah QS 3:3, 3:48, 3:65, 5:46, 5:66, 5:68, 5:110, 7:157, 9:111, dan 48:29.

Edited Version: 22 Mei 2019
Diantara Kedua Tangan
Di dalam beberapa ayat Al Quran disebutkan bahwa Al Quran membenarkan [kitab sebelumnya], atau kalau dalam bahasa aslinya disebutkan mushaddiqallimaa baina yadaihi atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Al Quran membenarkan apa yang ada di antara kedua tangannya. Beberapa waktu lamanya saya mencoba mencerna kenapa Al Quran menggunakan frase tersebut: di antara kedua tangan. Salah satu pertanyaan yang timbul di dalam pikiran saya, tangan siapakah yang dimaksud? Tadinya saya ingin menanyakan pertanyaan tsb kepada orang yang saya anggap lebih ahli dalam urusan tafsir Al Quran, namun sebelum saya bertemu dengan orang yang saya anggap ahli tsb nampaknya pertanyaan tsb telah terjawab sendiri. Di dalam ayat Al Quran yang lain ternyata juga disebutkan ayat yang serupa, mushaddiqallima baina yadayya yang berarti membenarkan apa yang ada di antara kedua tanganku. Yang mengucapkannya adalah Nabi Isa alaihis salam.
Dari ayat tsb timbul pemikiran baru dalam benak saya bahwa kitab yang dibenarkan oleh Al Quran adalah kitab yang dipegang oleh Nabi Isa Al Masih. Bukan tidak mungkin bahwa jika Al Masih datang kembali ke dunia ini, beliau akan membawa kitab suci Taurat [dan Injil] yang asli, dan kitab yang dipegang oleh Al Masih itulah yang dimaksud sebagai kitab yang dibenarkan oleh Al Quran. Wa Allahu a'lam.